Galeri

K – I – T – A Chapter 10


Semilir angin sangat menggoda di daerah ini, daerah rumah Resti yang masih sangat terlihat pedesaan, walaupun tak jauh dari sini distrik pemerintahan kabupaten Bogor.

Untuk menuju rumahnya pun harus melewati beberapa kebun bambu dan jalannya hanya untuk satu mobil dan satu motor saja sangat sempit, tapi warga di sini sudah terbiasa dengan keadaan ini, aku pun ikut terbiasa karena sering berkunjung ke sini.

Aku masih tercengang dengan perkataan Resti, apa dia mengetahui hubungan ku dengan Agus? Masa iya Rama memberitahu Resti kalau untuk hal satu ini aku tidak yakin, kalau ke sahabat-sahabat laki-laki ku aku tidak heran, tapi kalau Rama memberitahu Resti, benar-benar, ck.

“jujur aja Gi, bukannya selama ini gue nggak pernah nutup-nutupin apapun ke elo” Resti masih memasang wajah yang amat datar seperti, ini bukan masalah sama sekali untuk dia, hanya butuh pengakuan ku.

Mungkin memang saatnya semua sahabatku tahu orientasi seksual ku ini, toh aku tidak merugikan mereka ini, iya kan?

“Rama-”

“bukan, gue murni tau sendiri kok” Resti memotong cepat.

Aku memasang wajah yang menunjukan ekspresi -kok bisa-.

“elo itu ibarat sebuah buku buat gue Gi!”

“dari pertama kita ketemu di kelas satu, gue udah tau elo itu beda, tapi elo tetep bertingkah normal, malah lo suka nanggepin semua temen-temen lo kalo lagi ngomongin cewek, gue salut banget, pasti nggak gampang kan punya ketertarikan yang unik, bahkan setiap cewek pun ngomongin lo yang katanya cool abis dengan iPad lo itu kemana-mana” Resti menunjuk iPad yang aku pengang.

Segitunya kah aku? Segampang itu kah aku di baca seseorang? Kalau mbak Miranda yang waktu di puncak itu mengetahui aku gay sih aku tidak terlalu heran jelas dia juga sama seperti aku, tapi ini Resti.

“segitunya kah gue? Sampe dengan mudah elo baca semua yang ada di diri gue?” aku bertanya dengan nada miris.

“semua orang hanya butuh berpeka diri, perhatikan sekililing, maka lo akan dapetin hal yang nggak pernah elo tau, selama lo acuh elo nggak bakalan tau apa-apa” aku menunduk lesu.

“gue tetep akan jadi sahabat wanita lo, apa elo yang nggak mau jadi sahabat gue lagi Gi?” Resti menatap ku dengan mata sendunya, terlihat dari pancaran matanya dia benar menerimaku.

“lo nggak malu?” kata ku lagi.

“buat apa? Elo bukan kriminal, elo juga nggak pernah perkosa cowok” kata Resti lagi sambil tersenyum.

“tapi Rama pernah gue perkosa” aku berkata dengan nada dan raut wajah serius.

“aaaah!” Resti bergerak mundur dengan cepat seakan suatu yang menakutkan ada di depannya.

“hahaha, di bunuh Rama lah gue kalo perkosa dia, ada juga dia yang perkosa gue, tapi kalo Rama yang perkosa sih gue minta nambah” canda ku.

Resti malah tertawa, “gila” satu kata yang keluar dan dia meneruskan tawanya.

“jadi bener ya kalo lo itu..”

“gay” aku mengangguk absolut.

“iya, gue nggak tertarik jadiin cewek-cewek centil itu jadi pacar gue” aku menjelaskan semua saat ekspresi Resti mulai menuntut.

Ku lihat Resti hanya mengangguk, “terus elo sama Rama kapan jadiannya” tuntut ku tidak sabar, aku memang paling semangat untuk menyatukan mereka.

“nggak tau, tapi gue nggak mau jadi pacar Rama selagi Wilda masih ngejar-ngejar Rama”” Resti memasang wajah pasrah, sambil memainkan jemarinya.

“lo cinta kan?”

“apa perlu gue jawab lagi” kata Resti meyakinkan bahwa dia mencintai Rama.

“kejar cinta lo, jangan cuman diem aja nunggu GIMANA NANTI” aku mulai berapi-apai.

“jodoh nggak kemana Fig”

“gue nggak ngerti sama jalan pikiran lo berdua, jodoh? Hey sadar elo sama Rama itu masih SMK, yang elo butuhin itu cuman ngerasain indahnya pacaran, toh elo saling cinta” aku sudah mulai geregertan ingin rasanya aku tarik Rama atau Resti lalu ku paksa salah satunya menyatakan cinta.

“nggak tau deh, tapi gue yakin nanti kita pasti dapet yang terbaik” idih jawabanya itu sangat ambigu, aku paling malas jika disuruh mencerna suatu kata yang ambigu selain pelajaran.

“iya deh good luck aja kalo gitu” aku merapihkan barang-barang ku lalu berjalan ke arah mobil.

***

Sekarang aku sedang melihat pacarku bertanding futsal, di lapangan sebelah Andri sedang sparing basket juga, sekolah kami ini sudah mulai gencar mengadakan pertandingan persahabatan atau kelompok-kelompok yang mau sparing melawan tim olahraga sekolah kami.

“gooolllll” Rama teriak di samping ku. Sontak aku melihat ke arah lapangan, Agus melakukan ritual selebrasi, keren.

Sesekali dia melirik ke arahku dan tersenyum, aku tidak suka menonton pertandingan olahraga apapun, tapi karena semua sahabatku berada disini ya aku itu, eh Doni absen lagi, jadi hanya Doni yang tidak ada di sini, padahal ekstrakulikuler karate juga ikut di pertandingan kabupaten tiga minggu lagi.

“pacar gue tuh Ram” aku berbisik ke telinga Rama.

“eeh” dia menatap ku seakan melihat hantu kepala kribo.

Aku hanya tertawa pelan, “yiiiiiiiiiaaaww” Elul berteriak di sebelah ku, Andri berhasil memasukan bola basket ke ring lawan, aah entah lah apa itu pribahasa yang tepat, aku tak suka olahraga jadi kalau aku salah mengutarakan yang sedang aku lihat mohon maklumi.

Seperti biasa pasti Andri memasang wajah se cool mungkin para wanita juga berteriak histeris apa lagi Ratna.

“wooooy, dongo lo,” sorak riuh kembali memenuhi sekitar lapangan, aku melirik lagi ke arah lapangan sedari tadi memang perhatian ku terfokus ke iPad sesekali melihat Agus.

Andri jatuh dan dibopong keluar lapangan, “kenapa?” aku bertanya cepat ke Elul yang berteriak tadi.

“kampret si Deni, temen satu tim di celakain” aku mengerti maksud Elul, benar-benar mereka FD4.

“kerumah sakit nggak” aku menawarkan membawa Andri kerumah sakit.

“aah nggak, mending ke tukang urut aja deh” Andri terlihat menahan sakit, Ratna terus memijiti kakinya, so sweet sekali.

“Ndri lo nggak apa-apa?” Agus muncul dari belakang ku.

“udahan nggak apa-apa ntar ke tukang urut aja” jawab Andri.

Aku langsung memberikan handuk dari tas yang Agus bawa “makasih sayang” katanya setengah berbisik, ku sikut langsung perutnya. Ratna malah tertawa geli mendengarnya.

Semua teman terdekat ku sekarang tahu semua tentang jati diri ku dan hubungan ku dengan Agus.

“nih minumnya, eh tadi udeh gue minum dikit sih” aku memberikan air dalam botol yang telah ku minum sebelumnya. “ciuman nggak langsung nih” jawab Agus sambil menenggak habis air tersebut.

Eeerr,, wangi wafer vanilla menyeruak seketika, membuat aku tidak tenang, terangsang sedikit mungkin, aahh aku memang sedikit binal, heh.

“eeh mau balik kapan? Andri sama Ratna bareng gue aja, si Huda SMSin tuh suruh bawa motornya Andri, gue mau pipis dulu sekarang yak” tiba-tiba aku kebelet pipis, ku lihat dari tadi Huda juga tidak ada di sekitar kami pasti sedang ngelaba.

Aku suka kamar mandi GOR mini sekolah ku ini, lebih bagus dari bangunan inti sekolah, ini tempatnya terpisah dari sekolah, karena disewakan juga.

“bruk, ceklek” seseorang masuk kebilik kamar mandi yang aku tempati, langsung saja aku berbalik badan “Agu, emmppt” sialan ini anak kenapa sih main cium-cium aja, dih makin ganas.

“aah, ngaco issh” aku mendorong pelan tubuhnya yang berselimut peluh.

“ini hukuman karena kamu nggak perhatiin aku tadi pas lagi sparing” Agus tersenyum mesum sekarang.

“dari dulu kan aku emang nggak suka nonton kalian main!” aku membela diri.

“tapi kan sekarang aku udah jadi pacar kamu” Agus protes lagi.

“jadi seenggaknya kamu harus prioritasin aku daripda iPad kamu” tambahnya.

Agus membuka baju futsalnya, menggantungkan ke dinding wc ini, “aku sayang kamu Gi” Dia memeluk ku cepat, tidak nyaman, badanya penuh peluh walau itu membangkitkan gairah ku sekarang ini.

“nggak romantis iish, sana ah bau, ini kan di toilet, jorok sono iish” aku mencoba mendorong tubuh Agus yeng memeluk ku erat, hidung ku menyentuh-nyentuh pundaknya, benar-benar wangi wafer vanilla, sangat menggoda untuk di cicipi.

“kita lanjutin yang pas di mobil minggu kemarin di sini ya”

“gila, nggak aah awas iish” aku protes lagi, mau mendorong keras takut melukainya, serba salah.

“sebentar aja deh, pengen banget nih yang” rayunya.

Aku berjinjit dan menciumnya dalam, saat aku rasa dia akan membalas ciuman ku buru-buru ku lepas “udah tuh” aku langsun memotong ketika dia hendak memperotes, aku buka pintun wc-nya. “ckckck..” Rama berdiri di depan pintu keluar toilet.

Wajah Agus yang langsung memerah padam, aku sih hanya cengengesan kecil, “mbok ya di kecilin itu suara kalo lagi begituan” Rama berbicara sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“noh, si Agus, gue sih korbannya” aku kembali tertawa kecil.

“sttt, bawel” Agus mendesis ke arah ku, lalu menutup bilik wc, sekilas aku memperhatikannya keren banget pacar ku itu, apa lagi saat topless dengan tas olahraga menyangkut dipundak kanannnya.

***

“makasih ya kalian udah repot-repot nganterin Andri pulang” tante Yuni mamahnya Andri berterimakasih kepada kami.

“iya Tan, kita pamit yah, Ndri cepet sembuh” kami pamit pulang, Agus sengaja tadi aku jemput, sekarang Ratna juga diantar Dwi, jelas begitu Dwi kan sepupunya Andri jadi biarkan saja Ratna diantar Dwi.

“yang”

“emmh” jawab ku masih sibuk dengan iPad ku.

“lagi ngapain sih?” gerutunya.

“baca, eeh-” dengan cepat iPad ku di rampas dengan kejamnya.

“nginep dirumah ya malem ini, please” Agus mulai meratap.

“Emm, iya nggak yaah”

“kalo nggak aku sita iPadnya” Agus pura-pura marah, heeh nggak mempan.

“yaudah turun sekarang juga dari mobil gue!” aku mengancamnya tapi setengah tertawa.

“sialan” cibirnya sambil fokus ke jalan.

“nginep yah!” pintanya lagi.

“siniin dulu iPadnya”

“janji dulu mau nginep”

“iya bawel” cepat-cepat aku BBM Ibu izin menginap, dan di izinkan, Ibu ku itu emang paling keren deh pokonya.

“ambilin dompet aku dong yang di tas” Agus memintaku mengambil dompetnya di tas, setelah aku buka dompetnya terpampang jelas di tempat seharusnya di isi foto malah di isi kondom, sialan aku sudah terlanjur meng-iyakan ajakannya lagi.

“jangan sampe ilang yang, nanti malem aku mau pake tuh” katanya sambil tertawa menang.

“aaaaaah, sialan lo”

***

Doni POV”

Aku rasa kondisi ku sedang tidak baik sekarang ini, tubuh ku lebih panas dari biasanya, tapi tetap aku harus bekerja menjadi admin warung beras H. Yusuf.

Seharusnya sekarang aku rapat dengan tim karate sekolah untuk menentukan siapa yang berhak mewakilkan sekolah kami di pertandingan nanti.

Ini akan menjadi ajang yang cukup besar, seluruh sekolah tingkat SMA sederajat akan berlomba-lomba meraih juara di pertandingan yang dilaksanakan setahun sekali ini.

“Don, lo sakit ya?”

“aaanghh, nggak Pak haji, tadi lagi bengong aja, maap” aku ditarik dari lamunan ku tentang sekolah.

“beneran nggak sakit lo Don?” tanya Pak haji sekali lagi.

“nggak Pak, sehat Doni Pak” yakin ku.

“Bapak minta tolong dong kalo kayak gitu, bantuin kuli-kuli naikin beras ke mobil, si Emen nggak masuk Don jadi Bapak keteteran nih” pinta Pak haji.

“iya, Pak” aku segera berjalan ke arah gudang tempat beras di simpan dan di distribusikan.

“eeh, tunggu, fakturnya udah di buat semua kan Don”

“beres semua Pak haji, ada di meja” setelah menjelaskan aku kembali berjalan ke arah gudang.

Hitung-hitung aku latihan fisik, cuman tidak pemanasan atau melatih teknik ku, tapi mengangkat beban.

“nih mobil terkahir ya” seru Ujang, dia itu seumuran dengan ku, tapi tidak melanjutkan sekolahnya saja.

Ini beras terakhir yang aku angkat entah kenapa kondisi ku tambah memburuk seakan aku yang tertarik oleh beras itu saat ingin melemparnya ke dalam mobil pengangkut.

“Dooon, aduh” seseorang mengaduh di belakang ku, entah siapa, yang jelas aku tidak terpelanting karena ada dia.

“Figi, lo ngapain” aku sedikit terperanjat ketika menoleh ke arah belakang.

“eeng, jemput elo” jawabnya polos, entah kenapa emosi ku tiba-tiba surut, jarang sekali aku melihat Figi berekspresi dan bersuara seperti ini lagi, sekarang ini dia lebih mudah meledak, dan sekarang dia kembali lagi seperti Figi-ku yang dulu.

“gue bisa sendiri, lagian tau darimana lo kalo gue di sini” aku menepuk-nepuk bagian tubuh ku yang kotor akibat tadi terjatuh lalu mengangkat kembali beras terakhir ku.

“dari nyokap lo, kata nyokap lo gue suruh tunggu rumah sih bentar lagi juga elo pulang, tapi gue iseng aja mau jemput dan untungnya elo belom pulang”

“ooh”

“iiih, gue khotbah panjang lebar jawabnya gitu doang” Figi protes di belakang ku.

“tunggu sini, gue pamit pulang dulu” aku menyuruhnya untuk tetap menunggu di luar, reaksinya hanya mencibir ku, benar-benar aku rindu Figi-ku, eeh.

“besok-besok jangan ke tempat kerja gue lagi, malu gue, lagi pula gue bisa sendiri kok” aku memperingati Figi.

“bodo”

Figi memang menyebalkan setiap di peringati, tapi itu sifat Figi-ku.

“diiih, gue serius” aku mendesis ke arahnya.

“nggak ada yang nanya” dia terus mengemudi mobilnya tanpa menatap ku, aarrgg, ingin sekali aku memeluknya.

“Figi, jangan sering jemput si Dodon, dia kan kerja pasti punya uang kok buat ongkos pulang” Ibu memperingati Figi sambil membawa cemilan untuk kami.

“hehehe, nggak apa-apa Bu” jawab Figi, benar-benar sifat batu dari dulu yang dia miliki itu tidak pernah berubah, walaupun kebanyakan sifat batunya itu ke arah yang positiv.

“besok latihan karate yak di GOR sekolah?”

Aku hanya menggeleng besok Sabtu dan aku masih harus bekerja.

“lah, kan ekskul karate ikut lomba juga?” tuntut Figi.

“besok gue kerja” kata ku acuh sambil meminum teh hangat ku.

“Dodon kaku banget sih ah, ngebetein” gerutunya.

“nanti Agus marah nih, sono udah pulang” usirku, Figi berlama-lama di samping ku itu hanya menyiksa, aku selalu ingin memeluknya tapi aku tak bisa, aah stop berfikir aneh, aku suka wanita okey.

“ngusir?”

“iya” jawab ku santai.

“yaudah” Figi masuk ke arah rumah.

Tak lama Figi, Ibu dan Bapak keluar. “nggak nginep aja Gi?” tanya Ibu, Figi hanya tersenyum halus tanda tidak bisa, seperti biasa Ibu dan Bapak pasti mengantar Figi sampai di teras lalu masuk ke dalam rumah setelah Figi menghilang dari pandangan kami.

Ibu dan Bapak ku itu sudah akrab sekali dengannya, malah Ibu ku sering menceritakan ke biasaan buruk yang aku punya kepada Figi, menyebalkan.

Tapi aku lebih menangkap perlakuan Ibu kepada Figi itu, ya seperti si Figi itu pacarku, ke jelekanku selalu di umbar, lalu dengan luesnya Ibu meminta Figi untuk menasehatiku, mencegah aku agar tidak bertindak ceroboh dan lain-lain seperti seorang Ibu yang sedang berbincang-bincang kepada pacar anaknya.

***

“percuma, kak Figi itu kan gak suka cewek, elo mau ngefans sama dia juga dia nggak bakalan ngelirik lo, pacarnya kak Figi itu kak Agus lagi, ganteng banget kan kak Agus itu”

Eeerrr, ingin rasanya aku patahkan mulut adik kelas ku ini, kalau Figi sampai mendengar ini pasti sudah di khotbahi mereka abis-abisan.

Entah kenapa aku tiba-tiba emosi ketika mereka memuji Agus, ya aku tahu Agus cowok keren, lebih tajir, tapi kalo urusan ganteng kayaknya aku lebih unggul deh, Figi pernah bilang seperti itu loh dulu saat kelas dua.

“kak Doni, nanti ngewakilin sekolah kita ya buat lomba karate?” tanya salah satu adik kelas perempuan yang sedang ngerumpi dengan bebasnya.

“aah? Nggak tau, gue belom di kasih tau tuh”

“kok gitu?”

“ini gue mau ke club karate dulu” aku berbicara sambil terus berjalan, buang-buang waktu kalau harus berhenti dan berbicara dengan mereka.

“Pak, saya nggak bisa, baru aja saya mau ngundurin diri dari ekskul ini” aku protes ketika Pak Wahid meminta aku untuk mewakili sekolah di pertandingan nanti.

“Fauzan dan Ozi itu masih di bawah kamu skillnya”

“Ozi itu keren loh Pak, saya pernah kalah sama Ozi” aku benar-benar mengelak, ekonomi keluarga ku lebih utama saat ini.

“si Kusni bilang kamu yang pantes jadi wakil sekolah” Kusni itu pelatih karate kami.

“tapi saya udah nggak bisa ikut karate lagi Pak, saya udah kerja part time” aku tetap ngeyel.

“heeh, udah berenti dulu, nanti kalo kamu menang hadiahnya kan lima juta tuh buat setiap juara satunya, sekolah nggak minta kok, sekolah cuman butuh piala sama pengakuan dari masyarakat luar kalo sekolah kita itu bagus, biar nambah minat calon siswa di tahun depannya” jiih si Bapak berpolitik di sini.

“lima juta? Seriusan Pak?”

“kamu pokonya harus ikut, mau nggak mau sekolah daftarin nama kamu, dan setiap pemenang dari sekolah kita itu bakalan di gratisin uang SPP-nya, tanya aja sama yang tau kalo nggak percaya” Pak Wahid nyelonong pergi, tawaran yang menarik, aku harus minta izin nih ke Pak H. Yusuf, sebulan doang kan, pasti boleh.

“Gus”

“haaah?” jawabnya masih sibuk dengan HPnya.

“yang juara nanti di pertandingan dapet hadiah apa aja dari sekolah, jelasin dong setiap briefing gue nggak pernah ikut soalnya” aku berpindah tempat duduk dari di sebelah Huda jadi di sebelah Agus, pelajaran PKN dan hanya menyatat jadi bebas.

“Don, tempat gue eh” Andri protes dia habis dari toilet, itu sih tadi izinya ke si Rama sebelum Rama keluar bersama para OSIS senior yang super duper sok sibuk, si Figi salah satunya, Rama ketua kelas, anak begajulan di jadiin ketua kelas nggak nyocok ya kan? Balik nanya Agus!

“Gus, yeh lo gue tanyaiin juga” benar-benar emosi sekarang ini, dia malah masih asyik pencet-pencet HPnya.

“bentar dulu gue lagi LINE-an sama Figi” aku benar-benar mendidih saat ini, makin kacau saja setelah Agus menyebut Figi.

Aku berdiri lalu kembali ke tempat duduk, “Don, sory yaak, hehehe.. Tadi nanya apaan?” mungkin Agus menyadari kalau aku emosi di perlakukan seperti itu.

“nggak jadi gue udeh tau” jawabku ketus.

“yang bener?” nadanya menggodaku, kalau saja si Agus bukan sahabatku dari kelas satu aku sudah hajar habis-habisan, mengahalah untuk teman itu bukan hal yang mudah.

Iyakan? Merelakan seseorang yang kau cintai (gebetan) untuk menjadi milik seorang yang kalian sayangi (sahabat) tetap saja bukan hal yang mudah. Menyakitkan iya.

“iya” kata ku lebih ketus.

Agus duduk di meja ku, lalu menjelaskan semua keuntungan dari perlombaan nanti.

kalau kami memenangkan perlombaan sekolah akan memberikan free SPP selama 6 bulan untuk juara pertama, 3 bulan untuk juara ke 2, 1 bulan untuk juara ke 3.

Sepertinya tahun-tahun lalu hanya mendapatkan free SPP selama satu bulan untuk juaranya.

“seriusan?” kata ku ketika Agus selesai menjelaskan.

“katanya elo udah tau” ledek Andri.

“aaah cemburu doang kali tadi mah” sialan Dwi ikut-ikutan memojokan ku.

“udah Figinya bagi-bagi aja” celetuk Elul.

“lu kira si Figi es kiko bisa di bagi dua” Agus terlihat kesal, aku juga kesal sih karena pacarnya Figi ada di depan ku dan aku hanya bisa diam seperti seorang pecundang.

“lombanya sepuluh hari lagi, di GOR kabupaten, siapin diri masing-masing” Resti, Figi, Rama masuk ke kelas mengumumkan hasil dari rapat perlombaan se-Kabupaten.

“Dan seminggu itu kita bebas” sorak riuh dari seisi kelas ketika Rama menyampaikan kalau saat perlombaan di mulai sampai berakhir kami di bebaskan dari pelajaran.

“lo kenapa nggak ikut latihan buat lomba kemarin?” tanya Juwita menghampiri.

“eeh gue ada acara keluarga” kilah ku, sahabat-sahabatku belum tahu kalau setiap pulang sekolah aku bekerja.

Bell istirahat berbunyi.

1 responses to “K – I – T – A Chapter 10

Tinggalkan Jejak